Julius Robert Oppenheimer

Kisah Tragis Robert Oppenheimer Sang Bapak Bom Atom yang Dituduh Komunis

Julius Robert Oppenheimer

Jakarta – Nama Julius Robert Oppenheimer akan selalu melekat dalam sejarah dunia sebagai sosok jenius di balik penciptaan bom atom pertama. Namun di balik kejeniusannya, hidup Oppenheimer justru berakhir dalam kesepian dan kontroversi. Dari seorang ilmuwan brilian yang menjadi ujung tombak proyek rahasia militer Amerika Serikat, ia berubah menjadi sosok yang dicurigai dan dijauhi negaranya sendiri.

Ledakan yang Mengubah Dunia

Tanggal 6 dan 9 Agustus 1945 menjadi dua hari paling kelam dalam sejarah umat manusia. Amerika Serikat menjatuhkan dua bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, menewaskan lebih dari 100 ribu jiwa secara langsung, dan menyebabkan ribuan lainnya meninggal dalam waktu panjang akibat paparan radiasi.

Bom tersebut adalah hasil dari Proyek Manhattan, program riset militer rahasia AS selama Perang Dunia II, yang diketuai secara ilmiah oleh Robert Oppenheimer. Tujuannya? Mengembangkan senjata paling mematikan untuk mengakhiri perang.

Awal Perjalanan Ilmiah

Lahir pada 22 April 1904 di New York dari keluarga imigran Yahudi Jerman, Oppenheimer menunjukkan minat tinggi pada ilmu pengetahuan sejak kecil. Ia menempuh pendidikan di Harvard University mengambil jurusan kimia, namun kemudian beralih ke fisika bidang yang akan menentukan hidupnya.

Pada 1942, Jenderal Leslie Groves menunjuk Oppenheimer untuk memimpin proyek pengembangan bom atom. Ia memilih Los Alamos, New Mexico, sebagai lokasi utama laboratorium rahasia. Di sana, para ilmuwan terbaik dari Amerika dan Eropa berkumpul untuk menciptakan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya.

Hanya dalam waktu tiga tahun, tim Oppenheimer berhasil merancang dan menguji bom atom pertama dalam sejarah dalam uji coba yang diberi nama “Trinity” pada 16 Juli 1945. Ledakan itu menandai awal era nuklir.

Penyesalan Setelah Bom Dijatuhkan

Meski proyeknya sukses secara teknis dan strategis, Oppenheimer diliputi rasa bersalah setelah bom dijatuhkan bukan hanya sekali, tapi dua kali di Jepang. Ia meyakini bom kedua seharusnya tidak diperlukan.

Dalam sebuah pertemuan dengan Presiden Harry Truman, Oppenheimer mengaku, “Saya merasa darah menodai tangan saya.” Namun, bukannya mendapat simpati, Truman justru tersinggung dan menyebut Oppenheimer sebagai “sosok moralistis yang menyebalkan” dan memutuskan tidak ingin berurusan dengannya lagi.

Tuduhan Komunis di Tengah Perang Dingin

Nasib Oppenheimer kian buruk saat memasuki era Perang Dingin. Di tengah paranoia antikomunis yang melanda Amerika, Oppenheimer dituduh sebagai simpatisan komunis. Kecurigaan muncul karena:

  • Istrinya dan saudaranya memiliki hubungan dengan Partai Komunis AS

  • Oppenheimer pernah hadir dalam sejumlah pertemuan yang berkaitan dengan komunisme

  • Ia mendukung gerakan anti-fasis selama Perang Saudara Spanyol

Meskipun tidak ada bukti kuat bahwa ia menjadi agen untuk Uni Soviet atau membocorkan informasi rahasia, reputasinya sudah terlanjur rusak. Pada 1954, ia menjalani sidang keamanan yang berakhir dengan dicabutnya izin akses keamanan tingkat tinggi, membuatnya kehilangan posisi strategis dalam pemerintahan AS.

Rehabilitasi Nama yang Terlambat

Robert Oppenheimer wafat pada 18 Februari 1967 di New Jersey, dalam keadaan terasing dari struktur kekuasaan yang dulu pernah ia layani.

Baru pada tahun 2022, Departemen Energi Amerika Serikat mengakui bahwa proses pengadilan terhadap Oppenheimer penuh dengan bias politik dan kekeliruan hukum. Pengakuan ini menjadi bentuk rehabilitasi nama bagi seorang ilmuwan yang sempat menjadi simbol kekuatan, lalu dilupakan karena ketegangan ideologis.

Warisan yang Tak Terhapuskan

Warisan Oppenheimer sangat kompleks: di satu sisi ia dipuja karena jasanya dalam mengakhiri Perang Dunia II, di sisi lain ia dikritik karena kontribusinya pada senjata pemusnah massal.

Namun satu hal yang pasti kisah hidupnya adalah cermin bagaimana ilmu pengetahuan, kekuasaan, dan politik dapat saling berbenturan secara tragis. Dan sejarah akan selalu mengingatnya, baik sebagai “bapak bom atom” maupun sebagai korban dari ketakutan ideologi yang membabi buta.