Teheran – Pemerintah Iran resmi mengumumkan bahwa mereka akan menggelar perundingan trilateral bersama Rusia dan China pada hari Selasa untuk membahas perkembangan terbaru dalam program nuklirnya. Hal ini dikonfirmasi oleh juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Esmaeil Baghaei, dalam konferensi pers yang digelar Senin malam di Teheran.
Fokus Bahasan: Ancaman Sanksi dari Barat dan Stabilitas Regional
Perundingan tersebut, menurut Baghaei, akan memfokuskan diskusi pada peningkatan tekanan dari negara-negara Barat, khususnya Inggris, Prancis, dan Jerman, yang telah mengisyaratkan potensi untuk menerapkan kembali sanksi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terhadap Iran jika tidak ada kemajuan dalam pembatasan aktivitas nuklir negara itu.
Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Noel Barrot, sebelumnya menyatakan bahwa sanksi internasional dapat diberlakukan kembali paling cepat bulan depan. Ancaman ini datang di tengah stagnasi diplomatik dan tuduhan bahwa Teheran terus memperluas program pengayaan uraniumnya.
Dukungan Rusia dan China, Anggota Kesepakatan Nuklir JCPOA
Baik Rusia maupun China masih menjadi anggota aktif dari Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) kesepakatan nuklir Iran 2015 dan memiliki pengaruh besar sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Baghaei menyebut kedua negara sebagai “mitra konsultasi utama” dalam upaya Iran menolak pemberlakuan ulang sanksi yang menurutnya “tidak sah secara hukum dan tidak logis.”
“Kami telah melakukan konsultasi yang sangat baik dengan Moskow dan Beijing mengenai eskalasi ini,” ujar Baghaei. Ia menegaskan bahwa tidak ada dasar hukum yang membenarkan reaktivasi sanksi yang sebelumnya telah dicabut di bawah JCPOA.
Pertemuan Terpisah dengan Negara Eropa dan Penolakan Terhadap AS
Selain pertemuan dengan Rusia dan China, Iran juga dijadwalkan bertemu dengan perwakilan dari Inggris, Prancis, dan Jerman pada Jumat (25/7) di Istanbul. Namun, Baghaei menegaskan bahwa Iran tidak memiliki rencana untuk memulai kembali pembicaraan langsung dengan Amerika Serikat dalam waktu dekat.
Keengganan Iran untuk kembali ke meja negosiasi dengan AS dipicu oleh mandeknya perundingan nuklir bilateral serta keputusan Iran untuk menghentikan kerja sama teknis dengan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA). Teheran menuduh IAEA bersikap tidak netral dan menyebarkan laporan yang bias, yang kemudian digunakan Israel sebagai dasar untuk menyerang Iran dalam konflik 12 hari yang lalu.
Ketegangan Semakin Meningkat Pasca Serangan Israel
Konflik militer yang terjadi baru-baru ini antara Israel dan Iran menambah kerumitan dalam diplomasi nuklir. Iran menyalahkan laporan IAEA sebagai pemicu agresi militer Israel. Serangan tersebut terjadi bersamaan dengan meningkatnya tekanan diplomatik dari Barat terhadap program nuklir Iran.
Washington telah berulang kali menuntut agar Iran menghentikan seluruh aktivitas pengayaan uranium, dengan alasan bahwa kapasitas tersebut dapat digunakan untuk membuat senjata nuklir. Teheran menolak tudingan tersebut, bersikeras bahwa program nuklirnya murni untuk kepentingan energi sipil dan kebutuhan medis dalam negeri.
Rusia dan China Dukung Solusi Diplomatik
Baik Moskow maupun Beijing menegaskan bahwa penyelesaian isu nuklir Iran harus dicapai melalui dialog damai dan solusi politik. Keduanya menolak pendekatan koersif atau militer, dan menyerukan agar semua pihak kembali mematuhi semangat kerja sama di bawah JCPOA.
Masa Depan JCPOA di Persimpangan Jalan
Perundingan pekan ini akan menjadi ujian krusial bagi keberlangsungan kesepakatan nuklir 2015 yang kini berada di ujung tanduk. Di tengah tekanan sanksi, konflik regional, dan kebuntuan diplomatik, masa depan JCPOA sangat bergantung pada hasil dialog antara Iran dan mitra utamanya Rusia dan China serta langkah lanjutan dari negara-negara Eropa.