Washington Ketegangan antara Iran dan komunitas internasional terus memuncak setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengungkap bahwa Teheran menolak melakukan inspeksi terhadap fasilitas nuklirnya dan tidak berniat menghentikan pengayaan uranium. Pernyataan ini disampaikan dalam perjalanan presiden menggunakan Air Force One, usai perayaan Hari Kemerdekaan AS.
Trump menegaskan bahwa meskipun ia meyakini program nuklir Iran telah “dihentikan secara permanen,” ia juga tidak menutup kemungkinan bahwa pengayaan bisa dimulai kembali di lokasi lain secara diam-diam. Ia menggarisbawahi bahwa jika Iran kembali melanjutkan program nuklirnya, itu akan menjadi masalah besar.
Trump Akan Bahas Iran dengan Netanyahu di Gedung Putih
Dalam pernyataan selanjutnya, Presiden Trump mengonfirmasi bahwa dirinya akan membahas situasi Iran secara langsung dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dalam kunjungan resmi di Gedung Putih. Pertemuan ini juga akan membahas kemungkinan gencatan senjata di Gaza, namun ancaman nuklir Iran disebut menjadi fokus utama.
Trump juga menyatakan bahwa pejabat Iran telah menunjukkan minat untuk berdialog dengannya, namun belum ada kepastian terkait pertemuan itu.
IAEA Tarik Diri, Iran Putuskan Hubungan
Sementara itu, Badan Energi Atom Internasional (IAEA) mengonfirmasi bahwa pihaknya telah menarik para inspektur dari wilayah Iran karena tidak mendapat akses ke fasilitas nuklir yang diserang oleh AS dan Israel. Keputusan ini diambil karena kebuntuan diplomatik dan meningkatnya ketidakpercayaan dari pihak Iran terhadap IAEA.
Presiden Iran Masoud Pezeshkian bahkan telah memerintahkan pemutusan kerja sama dengan badan pengawas nuklir PBB tersebut. Parlemen Iran menyetujui RUU untuk menangguhkan hubungan dengan IAEA, yang kemudian disahkan oleh Dewan Wali.
Juru bicara Dewan Wali, Hadi Tahan Nazif, mengatakan bahwa penangguhan ini dilakukan demi menjaga kedaulatan nasional dan integritas wilayah Iran. Menurut laporan televisi pemerintah, kerja sama hanya akan dilanjutkan jika terdapat jaminan keamanan terhadap fasilitas nuklir dan para ilmuwan Iran.
Kritik Iran terhadap IAEA dan Serangan Barat
Sejak pecahnya konflik terbaru dengan Israel, Iran secara terbuka mengkritik IAEA karena dianggap tidak netral dan gagal mengecam agresi militer terhadap situs nuklir mereka. Ketegangan semakin meningkat setelah IAEA mengeluarkan resolusi pada 12 Juni lalu yang menuduh Iran tidak mematuhi kewajiban dalam perjanjian nuklir—tepat satu hari sebelum Israel meluncurkan serangan.
Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi menolak permintaan Rafael Grossi, Kepala IAEA, untuk mengunjungi fasilitas yang dibom. Ia menyebut permintaan itu sebagai “dalih kosong” dan bahkan menyiratkan niat jahat.
Serangan Terkoordinasi dan Nasib Uranium Iran
Dalam konflik yang telah berlangsung lebih dari dua minggu, AS dan Israel melancarkan serangan militer terhadap sejumlah situs pengayaan uranium Iran. Washington mengklaim telah menghancurkan atau merusak tiga fasilitas utama.
Namun, masih menjadi pertanyaan besar mengenai nasib sembilan ton uranium yang telah diperkaya, khususnya lebih dari 400 kilogram yang telah mencapai kemurnian 60 persen—angka yang mendekati level senjata (90%) tetapi belum melewati batas kritis tersebut.
Iran Tegaskan Komitmen pada NPT, Tapi Tolak Tekanan
Meski memutuskan hubungan dengan IAEA, Iran tetap menegaskan bahwa mereka masih menjadi bagian dari Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT) dan program nuklir mereka hanya untuk tujuan sipil dan energi. Namun, meningkatnya serangan militer dan sikap IAEA yang dinilai tidak adil membuat Teheran kehilangan kepercayaan terhadap lembaga internasional tersebut.
Pihak Iran menyatakan tidak akan tunduk pada tekanan militer maupun diplomatik, dan menegaskan akan mempertahankan haknya untuk mengembangkan teknologi nuklir selama tidak melanggar hukum internasional.
Krisis Nuklir yang Sulit Diredam
Dengan IAEA yang kehilangan akses, Israel dan AS yang melancarkan serangan militer, dan Iran yang bersikeras mempertahankan programnya, dunia kini menghadapi ancaman nyata dari krisis nuklir yang makin sulit dikendalikan.
Langkah diplomatik masih terbuka, namun jalan menuju penyelesaian tampaknya semakin sempit. Kepercayaan yang telah hancur dan eskalasi militer terus berlanjut, membuat komunitas internasional waspada terhadap kemungkinan konflik berskala lebih besar di kawasan Timur Tengah.