Jakarta, hastobeperfect Seorang warga negara Indonesia yang merupakan lulusan Universitas Harvard angkat suara terkait tekanan kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump terhadap institusi pendidikan bergengsi tersebut. Di tengah kontroversi yang terus bergulir, kebijakan imigrasi dan pendanaan yang dikeluarkan Trump sejak menjabat kembali pada Januari 2025 dinilai membawa dampak signifikan, terutama bagi pelajar asing.
Ika (nama samaran), yang memulai studinya di Harvard pada 2022 dan sempat bekerja sebagai asisten peneliti di bidang kesehatan, menjadi saksi langsung bagaimana lingkungan akademis berubah drastis begitu Trump kembali menempati Gedung Putih. Ia menyebutkan bahwa sejak hari pertama pemerintahan baru dimulai, suasana di kampus menjadi penuh ketidakpastian.
Efek Langsung: Ketidakpastian dan Pengurangan Pendanaan
Salah satu langkah kontroversial Trump adalah penandatanganan ratusan executive order yang memperketat kebijakan imigrasi. Ika menyebutkan bahwa tidak lama setelah itu, sejumlah lembaga pendanaan, termasuk USAID yang selama ini mendukung banyak proyek riset dan kesehatan, mulai dibubarkan atau dihentikan operasionalnya.
“Januari itu sudah mulai terasa. Funding dipotong, USAID sempat dibubarkan. Imbasnya terasa sekali di kalangan mahasiswa Public Health,” kata Ika saat dihubungi melalui sambungan telepon.
Trump juga mengumumkan kebijakan penghematan anggaran negara yang memengaruhi sektor pendidikan tinggi. Salah satunya adalah “hiring freeze” atau penghentian sementara perekrutan tenaga kerja di kampus. Kebijakan ini memukul mahasiswa internasional yang baru lulus dan tengah mencari peluang kerja untuk memperpanjang izin tinggal mereka di Amerika Serikat.
Hiring Freeze: Mahasiswa Lulusan Harvard Dihadapkan Pilihan Sulit
Menurut Ika, banyak rekannya yang baru lulus pada Desember 2024 dan seharusnya diwisuda Mei 2025 mulai kesulitan mendapatkan pekerjaan. Proses wawancara yang sudah dijalani banyak dari mereka tiba-tiba dibatalkan tanpa kejelasan.
“Ada yang sudah interview, tapi mendadak dihentikan. Tidak ada kejelasan. Situasinya membuat semua orang panik,” tuturnya.
Kontrak kerja Ika seharusnya berakhir pada Juni 2025, namun melihat situasi yang semakin memburuk, ia memutuskan untuk pulang lebih cepat ke Indonesia. Ika juga menyebutkan bahwa LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) pihak pemberi beasiswa memberikan waktu dua tahun bagi penerima untuk bekerja setelah lulus. Namun kondisi yang tidak mendukung membuatnya harus mundur lebih awal.
“Aku bilang ke atasanku, kayaknya aku mau pulang duluan deh,” kenangnya.
Ketakutan Baru: Ancaman Deportasi dan Pemeriksaan Digital
Selain tekanan finansial dan ketidakpastian pekerjaan, Ika juga menyoroti kebijakan lain dari Trump yang dinilai menyerang ranah privasi mahasiswa asing. Salah satunya adalah kewenangan baru yang diberikan kepada TSA (Transportation Security Administration) untuk memeriksa ponsel dan akun media sosial pelajar asing di bandara.
“Kalau isi WhatsApp kamu ada grup bernama yang sensitif seperti ‘Palestina’, kamu bisa ditahan, bahkan dideportasi,” ungkapnya.
Kondisi ini membuat para pelajar saling mengingatkan untuk menghapus riwayat percakapan atau grup yang berpotensi mencurigakan di mata otoritas imigrasi AS.
“Waktu itu rasanya kayak benar-benar enggak pasti. Kapan saja bisa berubah. Ancaman dideportasi itu nyata banget,” ujarnya.
Ketegangan Trump dan Harvard Meningkat
Situasi makin memanas ketika Trump secara terbuka menyerang Universitas Harvard dan melarang kampus tersebut menerima pelajar asing, termasuk yang masuk melalui jalur beasiswa. Pemerintah bahkan meminta mahasiswa yang telah diterima untuk pindah ke universitas lain, dengan ancaman pencabutan izin tinggal jika tidak mematuhi.
Tindakan tersebut kemudian mendapat perlawanan hukum dari pihak Harvard yang menilai larangan itu melanggar Amandemen Pertama Konstitusi AS, yang menjamin kebebasan institusi pendidikan dalam menjalankan kurikulum, pengelolaan internal, hingga perlindungan ideologis.
Harvard Gugat Pemerintah, Visa Pelajar Disetop Sementara
Harvard secara resmi membawa perkara ini ke pengadilan, menegaskan bahwa intervensi pemerintah adalah bentuk pelanggaran kebebasan akademik. Tak lama setelah itu, pemerintahan Trump mengambil langkah lebih lanjut dengan menghentikan sementara proses pengajuan visa pelajar asing.
Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, membenarkan bahwa kebijakan tersebut merupakan bagian dari upaya memperluas pengawasan media sosial terhadap pelajar asing. Langkah ini menuai kritik luas dari dunia pendidikan dan organisasi hak asasi manusia.
Harapan untuk Keamanan dan Solidaritas
Di tengah semua tekanan dan kekhawatiran, Ika tetap menyampaikan dukungannya bagi rekan-rekan yang masih bertahan di Amerika.
“Stay safe, dan lebih baik low profile dulu. Jangan bikin diri terlihat menonjol,” pesannya.
Kisah Ika menjadi gambaran nyata bagaimana kebijakan politik di level tertinggi mampu mengganggu stabilitas kehidupan mahasiswa internasional. Lebih dari sekadar angka statistik, mereka adalah individu yang membawa mimpi besar dan kini, mereka harus bertahan di tengah kebijakan yang berubah-ubah.