Tel Aviv – Seorang tentara aktif dari Brigade Golani, Shalom Sheetrit, mengungkapkan bahwa pada pagi 7 Oktober 2023, pasukannya menerima perintah tidak biasa untuk menghentikan patroli di perbatasan Gaza. Pengakuan ini memicu kecurigaan bahwa sejumlah pejabat tinggi militer Israel mungkin telah mengetahui rencana serangan Hamas lebih awal, namun memilih untuk tidak mencegahnya.
Sheetrit, yang kala itu bertugas di pos militer Pega dekat Kibbutz Be’eri, menyatakan bahwa ia menerima instruksi langsung dari komandannya pada pukul 05.20 pagi agar tidak melakukan patroli hingga pukul 9 pagi. “Kami sedang bermain telepon dan tiba-tiba pesan aneh masuk dari komandan batalion. Dia bilang, ‘Saya tidak tahu kenapa, tapi hari ini tidak ada patroli di pagar perbatasan sampai pukul sembilan,’” ujar Sheetrit dalam kesaksiannya yang dilaporkan media Israel dan disorot oleh The Cradle.
Serangan Mendadak dan Arahan Kontroversial
Serangan Hamas yang dikenal sebagai Operasi Badai Al-Aqsa itu melumpuhkan sejumlah pos militer, termasuk Pega, dan menewaskan sedikitnya 14 tentara Israel. Salah satu lokasi terdampak parah adalah Kibbutz Be’eri, tempat lebih dari 100 warga Israel dilaporkan tewas. Sheetrit mengakui bahwa unitnya gagal memberikan pertahanan memadai di lokasi tersebut.
Tak lama setelah serangan, militer Israel melancarkan serangan udara balasan besar-besaran, termasuk penggunaan helikopter Apache dan drone. Sejumlah laporan menyebut bahwa serangan ini dilakukan mengikuti “Arahan Hannibal” protokol militer kontroversial yang mengizinkan penggunaan kekuatan mematikan untuk mencegah penyanderaan, bahkan jika itu berarti membunuh warga sendiri.
Intelijen yang Diabaikan?
Bukti bahwa serangan bisa saja dicegah semakin menguat seiring munculnya laporan bahwa pasukan pengintai Israel telah mengamati aktivitas mencurigakan dari Hamas sejak jauh hari sebelum 7 Oktober. Menurut laporan Financial Times, para tentara pengintai perempuan Israel bahkan sudah menyampaikan laporan tertulis berisi analisis latihan Hamas untuk menembus pagar perbatasan dan menculik warga Israel.
Namun laporan itu diabaikan. Seorang perwira senior disebut-sebut menepis laporan tersebut dengan menyebutnya sebagai “skenario imajiner.” Tak hanya itu, intelijen dari Mesir yang dikirim ke Tel Aviv sebelum serangan juga tidak ditindaklanjuti oleh pihak militer Israel.
Biaya Kemanusiaan di Gaza
Sebagai balasan atas serangan Hamas, Israel menginvasi Jalur Gaza dan melancarkan kampanye militer yang disebut-sebut sebagai salah satu yang paling destruktif dalam sejarah modern. Hingga kini, lebih dari 60.000 warga Palestina tewas, dan lebih dari 147.000 lainnya terluka. Sebagian besar korban adalah perempuan dan anak-anak.
Laporan dari Press TV menyebutkan bahwa sejumlah besar fasilitas sipil seperti rumah sakit, masjid, sekolah, hingga tenda pengungsi menjadi target serangan. Komunitas internasional, termasuk PBB, mengecam keras tindakan Israel yang dianggap sebagai bentuk pembersihan etnis.
Agenda Politik di Balik Serangan?
Berbagai pengamat menyatakan bahwa pembiaran serangan 7 Oktober membuka jalan bagi Israel untuk membenarkan invasi skala penuh ke Gaza dan mengubah status quo wilayah tersebut. Mantan Presiden AS Donald Trump bahkan menyuarakan dukungan atas ide memindahkan populasi Gaza ke negara lain seperti Mesir atau Yordania, serta menyebut impian menjadikan Gaza sebagai “Riviera Timur Tengah.”
Pernyataan ini dianggap semakin menegaskan adanya agenda jangka panjang untuk mengubah demografi Gaza secara permanen sebuah langkah yang oleh sebagian besar komunitas internasional dikategorikan sebagai pelanggaran hukum internasional.
Kesaksian tentara Israel, peringatan intelijen yang diabaikan, dan respons militer berskala besar menimbulkan tanda tanya besar: apakah serangan 7 Oktober dibiarkan terjadi sebagai pembenaran untuk agenda politik dan militer tertentu?
Meskipun belum ada bukti langsung yang menunjukkan adanya konspirasi tingkat tinggi, rangkaian peristiwa ini telah mengguncang opini publik dan mendorong semakin banyak pihak menuntut transparansi dan akuntabilitas dari pemerintah Israel.