Rabat, Hastobeperfect – Untuk pertama kalinya dalam tiga dekade terakhir, umat Islam di Maroko menjalani Iduladha tanpa tradisi kurban. Kebijakan ini diumumkan langsung oleh Raja Mohammed VI sebagai langkah darurat untuk menyelamatkan populasi ternak nasional yang semakin menipis akibat krisis kekeringan yang telah berlangsung selama enam tahun terakhir.
Keputusan tersebut membuat banyak warga terkejut dan memunculkan pertanyaan besar: bagaimana cara masyarakat Muslim Maroko merayakan Iduladha tanpa kurban?
Larangan Kurban dan Penutupan Pasar Ternak
Menjelang Iduladha 1446 H/2025 M, pemerintah Maroko menutup seluruh pasar ternak dan melarang penjualan hewan kurban secara nasional. Bahkan, perdagangan perlengkapan kurban seperti tali, pisau, dan peralatan sembelih pun ikut dibatasi oleh Kementerian Dalam Negeri. Langkah ini diambil sebagai bagian dari arahan kerajaan untuk melestarikan ternak nasional, yang populasinya merosot ke titik terendah sejak tahun 1970-an.
Raja Mohammed VI, yang juga bergelar Panglima Umat Beriman, menyatakan bahwa keputusan ini diambil demi keberlanjutan pangan nasional dan keseimbangan ekosistem pertanian di tengah perubahan iklim ekstrem. Menurut laporan LSM Nechfate, sekitar 35 persen keluarga petani Maroko menggantungkan hidupnya pada peternakan, menjadikan larangan ini sebagai pukulan berat secara ekonomi.
“Ini keputusan sulit, tapi demi menyelamatkan masa depan ternak dan pertanian,” ujar Mourad Soussi, seorang penggembala asal Azrou.
Dampak Ekonomi: Dari Peternak Hingga Pekerja Informal
Bagi para peternak, larangan ini membawa konsekuensi serius. Banyak dari mereka telah berinvestasi besar dalam pakan dan pemeliharaan ternak sejak berbulan-bulan sebelumnya. Mourad menyebutkan bahwa kerugian peternak kecil seperti dirinya bisa mencapai 50 persen dari modal.
Pemerintah menanggapi situasi ini dengan meluncurkan paket bantuan senilai 6,2 miliar dirham, termasuk subsidi pakan dan keringanan utang. Namun, petani berharap distribusi bantuan ini merata dan tidak hanya dinikmati oleh pemilik ternak skala besar.
Di sisi lain, pekerja informal seperti pedagang perlengkapan kurban, jagal musiman, dan pengrajin kulit juga kehilangan sumber penghasilan tahunan mereka, memperkuat efek domino ekonomi akibat kebijakan ini.
Iduladha Tanpa Kurban: Alternatif Tradisi dan Konsumsi
Meski kurban dilarang, perayaan Iduladha tetap berlangsung. Warga beralih ke alternatif daging seperti ayam, sapi impor, dan makanan laut untuk memenuhi kebutuhan hidangan perayaan. Permintaan terhadap unggas melonjak tajam, menyebabkan kenaikan harga hingga 5 dirham per kilogram menjelang hari raya.
Namun, tidak semua warga menerima daging impor dengan baik. Survei lokal menunjukkan banyak yang menghindarinya karena rasa yang tidak familiar dan keraguan terhadap kehalalannya. Hidangan khas Iduladha seperti “boulfaf” hati domba yang dibumbui dan dipanggang tidak dapat ditemukan seperti biasa.
“Tidak ada kurban, tapi semua orang tetap beli hati dan perut. Mereka menutup pintu, tapi orang masuk lewat jendela,” ujar Mouhssine Hajji dari kota Sefrou.
Warisan Budaya: Festival Boujloud Jadi Sorotan
Di tengah hilangnya tradisi kurban, festival rakyat Boujloud kembali mencuri perhatian. Festival ini merupakan perayaan khas Amazigh (Berber) yang biasa berlangsung pasca-Iduladha. Dahulu, Boujloud dilakukan dengan menari menggunakan kulit hewan kurban, namun kini telah berevolusi menjadi ajang budaya yang lebih modern.
Meskipun berasal dari ritual pra-Islam, Boujloud telah menyatu dalam budaya Islam Maroko. Festival ini kini menampilkan penari bertopeng dan berkostum kulit hewan sintetis, diiringi musik tradisional seperti Ahidous dan alunan seruling khas pegunungan Atlas.
“Bagi saya, Boujloud adalah esensi dari Iduladha. Kami mungkin kehilangan kurban, tapi tidak kehilangan kebersamaan dan tradisi,” ujar Siham Azeroual, seorang perempuan muda dari komunitas Amazigh.
Sejarah Pelarangan Kurban di Maroko
Ini bukan kali pertama larangan kurban diberlakukan. Raja Hassan II, ayah dari Raja Mohammed VI, pernah menangguhkan kurban pada tiga kesempatan berbeda selama perang, masa kekeringan parah, dan saat penghematan ekonomi akibat tekanan dari IMF.
Pada masa lalu, beberapa warga menolak patuh. Tahun 1981, sejumlah warga dilaporkan melakukan kurban secara diam-diam. Bahkan, di kota Guelmima, kemarahan terhadap larangan sempat memunculkan aksi simbolik dengan menggantung anjing yang disembelih di gerbang kota.
Namun kali ini, banyak warga yang memilih menyesuaikan diri, melihat larangan sebagai panggilan untuk merenungi esensi spiritual Iduladha dan membangun solidaritas sosial dalam bentuk yang baru.
Iduladha yang Berbeda, Namun Tetap Bermakna
Iduladha 2025 di Maroko mungkin tidak diwarnai oleh bunyi takbir dan aktivitas kurban seperti biasanya. Namun, perayaan tetap hidup dalam bentuk kebersamaan keluarga, kegiatan budaya, dan inovasi kuliner.
Di tengah krisis lingkungan dan tekanan ekonomi, masyarakat Maroko menunjukkan bahwa semangat Iduladha tidak semata-mata soal menyembelih hewan, tetapi juga soal makna pengorbanan, solidaritas, dan kelestarian. Dalam konteks ini, Iduladha menjadi refleksi kolektif akan pentingnya adaptasi dan ketahanan budaya di tengah tantangan zaman.