SINGAPURA, hastobeperfect – Ketegangan diplomatik kembali mencuat setelah Presiden Prancis Emmanuel Macron menyamakan potensi konflik di Taiwan dengan invasi Rusia ke Ukraina. Pemerintah China dengan tegas menolak perbandingan tersebut dan menilai keduanya sebagai isu yang sangat berbeda dalam konteks hukum dan geopolitik internasional.
Macron Singgung Taiwan di Forum Keamanan Internasional
Dalam pidatonya pada ajang Shangri-La Dialogue yang berlangsung di Singapura, Jumat (30/5/2025), Macron memperingatkan bahwa pembiaran terhadap agresi Rusia di Ukraina dapat membuka peluang bagi konflik serupa di kawasan lain, termasuk Asia Timur.
“Jika Rusia dibiarkan mencaplok wilayah Ukraina tanpa konsekuensi, maka apa yang bisa terjadi di Taiwan?” ujar Macron, mengaitkan dinamika di Eropa Timur dengan potensi eskalasi ketegangan di Selat Taiwan.
Pernyataan ini sontak menarik perhatian banyak pihak dan menimbulkan reaksi keras dari Beijing.
China Taiwan Adalah Urusan Domestik, Bukan Kasus Internasional
Melalui pernyataan resmi di akun Facebook Kedutaan Besar China di Singapura pada Sabtu (31/5), pemerintah Beijing mengecam pernyataan Macron. Mereka menegaskan bahwa membandingkan Taiwan dengan Ukraina adalah “tidak akurat dan tidak dapat diterima.”
“Masalah Taiwan sepenuhnya merupakan urusan dalam negeri China. Tidak dapat disamakan dengan krisis Ukraina, yang memiliki latar belakang historis dan geopolitik yang berbeda,” tulis pihak kedutaan.
China menekankan bahwa pendekatan internasional terhadap isu Taiwan harus tetap berdasarkan prinsip “Satu China”, yang telah diakui oleh sebagian besar negara dunia.
Latar Belakang Ketegangan: Ukraina vs Taiwan
Untuk memahami sensitivitas isu ini, penting untuk meninjau konteks kedua wilayah:
-
Ukraina dan Rusia:
Sejak 2014, Rusia mencaplok wilayah Crimea setelah referendum yang tidak diakui komunitas internasional. Konflik memuncak lagi pada 2022 saat Rusia menginvasi wilayah timur Ukraina. Meski Rusia mengklaim kemenangan dalam beberapa referendum lokal, Barat menganggap itu bentuk aneksasi ilegal. -
Taiwan dan China:
Taiwan secara de facto memiliki pemerintahan sendiri sejak 1949, pasca perang saudara antara nasionalis dan komunis di China. Namun, Beijing memandang Taiwan sebagai provinsi yang membelot dan bertekad untuk mewujudkan “penyatuan kembali nasional”, bahkan jika diperlukan dengan kekuatan militer.
Hanya segelintir negara yang secara resmi mengakui kedaulatan Taiwan. Sebagian besar dunia, termasuk Amerika Serikat, Rusia, dan anggota PBB lainnya, mendukung kebijakan “One China Policy”.
Sikap China Terhadap Barat dan Hubungan dengan Taiwan
China berulang kali menegaskan bahwa mereka tidak akan mentoleransi langkah separatisme oleh otoritas Taiwan, terlebih jika didukung oleh kekuatan asing. Presiden Xi Jinping bahkan menyebut penyatuan kembali dengan Taiwan sebagai “misi sejarah” yang tidak boleh gagal.
Sementara itu, negara-negara Barat seperti AS dan sekutunya meski tidak mengakui Taiwan secara resmi, tetap menjalin hubungan informal dan memberikan dukungan ekonomi hingga militer.
Komentar Analis Bahaya Generalisasi Konflik
Sejumlah analis menilai pernyataan Macron, meski ditujukan untuk memperkuat dukungan terhadap Ukraina, bisa memperburuk ketegangan di Asia Timur. “Menarik paralel antara dua konflik berbeda justru bisa memperuncing posisi diplomatik yang sudah sensitif,” ujar seorang analis politik internasional di Universitas Nasional Singapura.
Menurut mereka, membandingkan konflik Eropa Timur dengan dinamika lintas selat Taiwan dapat mengaburkan kompleksitas hukum internasional dan sejarah masing-masing wilayah.
Isu Taiwan telah lama menjadi titik panas dalam hubungan internasional. Pernyataan Emmanuel Macron menjadi pengingat bahwa setiap retorika pemimpin dunia bisa berdampak besar, apalagi jika menyentuh sensitivitas geopolitik seperti One China Policy.
China tetap pada posisinya: Taiwan bukan Ukraina, dan segala bentuk campur tangan asing terhadap masalah Taiwan akan dianggap sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan nasional.